PESTA DEMOKRASI IDEAL: “KITA HARUS BERANI MEMULAI JUJUR DAN TIDAK MEMILIH POLITIK UANG”

Pemilu merupakan pesta demokrasi yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia. Sebegitu pentingnya pesta demokrasi tersebut karena posisinya sebagai gerbang penentuan masa depan bangsa yang dimulai dari setiap kotak-kotak suara.

Pada dasarnya, saya pikir tidak ada satupun individu atau warga negara Indonesia yang tidak sepakat dengan arti atau posisi penting Pemilu tersebut. Namun, banyaknya peserta Pemilu terutama nama-nama calon legislatif, rumitnya surat suara, atau munculnya identitas-identitas tak dikenal sebagai warga pemilih di satu daerah pemilihan misalnya, yang membuat masyarakat menjadi bingung dengan sistem baku atau idealnya sebuah Pemilihan Umum di Indonesia.

Fakta bahwa Indonesia merupakan jalinan masyarakat yang majemuk tidak bisa dihindarkan dalam penentuan sistem Pemilu tersebut. Sistem distrik maupun sistem proporsional murni, keduanya memiliki kelebihan serta kekurangan di dalam tata cara pelaksanaannya. Mau tidak mau, kita harus memilih, mana sistem yang terasa paling cocok dalam menjamin keberagaman di Indonesia tercinta ini.

Pemilu Legislatif

Saya meyakini bahwa sistem Pemilu di tahun 1999 yang juga merupakan Pemilu pertama Pasca-Reformasi adalah sistem Pemilu yang paling cocok untuk Indonesia. Di samping menjamin kebebasan multi partai, sistem Pemilu di tahun 1999 itu juga tidak rumit dan berhasil menekan biaya negara dalam produksi surat suara. Sederhananya, masyarakat pemilih hanya bertemu dengan tanda dan gambar partai yang mesti dicoblos. Disini, saya pikir masyarakat tidak akan kesulitan dalam menentukan pilihannya masing-masing berdasarkan kepercayaan atau track record partai-partai tersebut.

Memang, partai menjadi poros yang penting terutama dalam menentukan kandidat atau calon legislatif baik untuk DPR Pusat maupun DPR Daerah jika mengikuti sistem tersebut. Disini, menjadi kewajiban partai dalam mempersiapkan kader-kader terbaiknya untuk penentuan kandidat. Tentu sudah menjadi prasyarat ideal bagi partai, bahwa kandidat-kandidat tersebut mesti mempunyai catatan yang bersih sekaligus dikenal oleh masyarakat. Dikenal disini tentu bukan seperti dikenalnya para artis oleh para penggemarnya. Tetapi, figur yang dipersiapkan partai sudah sepatutnya mempunyai track record yang secara intens bersosialisasi, bahkan menjadi panutan dalam masyarakatnya itu. Sehingga, bukan sekedar omong kosong belaka jika sang kandidat melaju menjadi anggota legislatif.

Pertanyaannya sekarang adalah, siapa sebenarnya peserta Pemilu hari ini? Partaikah, atau individu caleg?

Kita sepertinya tidak mempunyai pijakan yang jelas. Aturan KPU sebagai lembaga yang bertanggung jawab akan terlaksananya pesta demokrasi tersebut menjadi absurd atau mengawang-ngawang. Sehingga, banyak menimbulkan penafsiran ganda. Jika dalam aturan telah ditetapkan bahwa peserta Pemilu adalah partai, maka sudah sepatutnya seluruh caleg merupakan kewenangan partai dalam mengatur dan mempersiapkannya. Kita lihat kenyataan sekarang ini yang membuat miris, para caleg bertempur keras satu sama lain, saling sikut, saling tindih, meskipun dalam satu bendera partai. Kenyataan yang tidak sehat ini menurut saya malah akan semakin menjerumuskan bangsa ini. Alih-alih masyarakat dapat mengenal wakil-wakilnya, tetapi yang terjadi malah semakin terbukanya jalan politik uang karena setiap caleg berusaha jungkir-balik sendiri agar duduk di Senayan. Dimana posisi partai kalau sudah seperti ini? Toh, tudingan negatif tentu akan dialamatkan kepada partai jika caleg-caleg tersebut nantinya terjerat kasus hukum. “Siapa tuh Si Anu yang maling uang proyek sapi-sapian?” “Ooo, Si Anu itu dari Partai Anu.” Tudingan tersebut tentu akan berdampak pada partai, padahal partai dalam hal ini tidak memegang kendali penuh terhadap caleg-caleg tersebut.

Memulai Politik dengan Jujur

Sistem suara terbanyak memang menjadi patokan bagi sistem pemilihan kita. Dengan sistem proporsional terbuka seperti sekarang, sistem suara terbanyak malah akan jadi bumerang bagi masyarakat. Intinya, siapa yang mempunyai kucuran dana kampanye paling banyak, dia yang akan merajai spanduk, baliho di tiap-tiap simpang, media cetak maupun elektronik dan panggung-panggung seni, padahal dia belum tentu mempunyai kapabilitas yang mumpuni.

Itu belum termasuk uang yang disebar kepada masyarakat agar bisa memilih sang calon ketika Pemilu. Bayangkan saja, jika sang calon menghabiskan uang 10 Milyar ketika kampanye sedangkan total gaji yang didapatkan ketika 5 tahun duduk sebagai anggota DPR hanya sekitar 2 Milyar. Maka sudah pasti sang calon akan mencari pemasukan lain dan salah satunya dengan cara korupsi.

Saat ini saya mencoba alternatif lain dengan resiko tidak terpilih, yakninya dengan cara berpolitik jujur dan menjauhkan politik uang. Saya mencoba cara yang dilakukan oleh Jokowi dengan turun ke nagari-nagari untuk berdialog dengan warga. Bagi saya, bertemu dengan konstituen dan membangun komitmen terukur selama lima tahun merupakan salah satu cara yang tepat untuk memperbaiki Negara ini. Coba bayangkan, jika seandainya sang calon telah terlebih dahulu memberi uang kepada masyarakat pada suatu nagari atau desa tentu secara kasarnya sang calon sudah menganggap lunas dan tidak perlu lagi datang ke daerah itu ketika sudah terpilih. Saya tahu resiko dari menjauhi politik uang adalah tidak terpilih seperti yang telah saya alami pada Pemilu 2009, tetapi saya yakin jika kita mempunyai niat yang baik suatu saat rakyat akan sadar dan memilih berdasarkan hati nurani bukan uang.

Ditambah lagi dengan persoalan sistem dapil. Bagi para caleg di daerah mungkin tidak akan sulit melakukan kontrak politik dengan para konstituennya. Tetapi, berbeda halnya jika itu terjadi pada caleg untuk DPR pusat dimana wilayah yang mesti dijangkaunya sangat luas. Persoalan ini akan selesai dengan mudah jika partai benar-benar diposisikan sebagai peserta Pemilu, bukan sebagai wadah atau titik loncatan caleg ke Senayan. Sehingga, bukan barang mustahil saat sekarang ini jika aspirasi masyarakat tidak tersalurkan, karena para caleg bermain solo meski di belakangnya ada bendera partai yang tentunya harus menutupi defisit pengeluaran saat kampanye hanya sekedar dengan spanduk-spanduk dan janji murahan. Hal ini dilakukan mungkin salah satu dari cara yang salah dalam mengakali wilayah yang sangat luas tadi.

Maka dari itu saya tegaskan, caleg itu bukan semata-mata wakil iklan, tetapi tolong digarisbawahi bahwa caleg itu benar-benar orang yang mempunyai catatan pengabdian yang panjang terhadap masyarakat dan itu diwadahi oleh partai. Sehingga, akan bertemu simpul kewajiban partai yang merapat pada rakyat bukan pada saat-saat menjelang Pemilu saja. Dengan begitu, posisi partai akan sangat jelas, berbeda dengan saat sekarang dimana posisi partai seperti digantung tidak bertali.

Saya kira, KPU dan kroni-kroninya adalah lembaga yang juga bertanggung jawab terhadap maraknya korupsi dewasa ini di negeri kita. Hal ini karena persoalan tadi, pijakan aturan yang mengawang-ngawang. Sekarang, kalau kita memang mau maju sebagai bangsa dan negara, jangan tanggung-tanggung. Kalau perlu, memakai sistem distrik sekalian biar jelas pula aturan mainnya. Saya yakin bahwa bangsa yang bijak itu adalah bangsa yang selalu bercermin pada sejarahnya. Apakah kita sudah termasuk ke dalam kategori bangsa yang bijak itu?

Anda mungkin juga berminat Lagi daripada pengarang